Tahukah Anda! Sekitar 7000 orang Indonesia yang berbahasa Perancis saat ini tinggal di suatu tempat, tepatnya di New Caledonia (Kaledonia Baru) dan mereka merupakan bagian sejarah Indonesia yang kurang begitu terkenal.
Adalah Djintar Tambunan – berumur 65 dan masih bekerja sebagai seorang insinyur di Noumea, ibukota Kaledonia Baru, merupakan anggota dari sebuah minoritas yang tidak biasa. Dia salah satu dari orang Indonesia yang sangat sedikit di Kaledonia Baru yang masih fasih berbahasa Indonesia. Istrinya Soetina yang orang Jawa tidak, demikian pula dengan ke dua anaknya yang sudah dewasa. Seperti kebanyakan teman-teman Indonesia mereka, bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Perancis.
Lahir di Belige, di tepi Danau Toba, Sumatera Utara, pada tahun 1945, Tambunan (begitu dia lebih suka dipanggil) dipindahkan ke Pulau Pasifik Kaledonia Baru selama booming pertambangan di tahun 1970. Dia datang untuk bekerja di perusahaan konstruksi besar Citra yang masih ada hingga sekarang. Dia menggambarkan dirinya sebagai bagian dari ‘gelombang ketiga‘ dari emigran Indonesia.
Lalu siapa kemudian yang disebut sebagai ‘gelombang pertama’ dan ‘gelombang kedua‘ dari emigran Indonesia, dan apa yang mereka lakukan di Kaledonia Baru?
Menurut Djintar Tambunan, dari 7000 atau lebih orang Indonesia yang saat ini tinggal di sana, merupakan bagian dari sebuah ‘bab’ yang relatif kurang dikenal dalam sejarah Indonesia. Seperti sejarah orang Jawa di Suriname – Amerika Selatan dan juga orang Melayu di Cape Malays – Afrika Selatan, ini adalah kisah menarik dari ketegangan yang terjadi ketika terjadi perpindahan populasi ke sebuah lingkungan baru.
Awalnya dikirim untuk bekerja di bidang pertanian, pada tahun 1899 orang Jawa mulai bekerja di industri pertambangan, yang menawarkan upah yang lebih baik namun kondisi lebih sulit. Setelah masa kontrak mereka berakhir, beberapa dari mereka kembali ke Jawa. Tetapi banyak yang tetap di New Caledonia, sebuah pilihan yang memaksa hak mereka untuk repatriasi. Itu juga pilihan yang mengharuskan mereka mencari pekerjaan baru.
Tunggu sebentar! Tahukah Anda di mana letak New Caledonia. Lihat peta di bawah ini. New Caledonia adalah negara kepulauan yang terletak ‘di bawah kanan’ Indonesia dan ‘di sebelah kanan’ Australia nun jauh di Lautan Teduh.
Gelombang kedua imigrasi dari Jawa terjadi pada tahun-tahun sebelum Perang Dunia II ketika ekonomi New Caledonian menghadapi kekurangan tenaga kerja kronis bersamaan dengan ledakan di produksi nikel dan kopi. Antara tahun 1933 dan 1939 lebih dari 7800 orang Jawa meninggalkan Jawa untuk Noumea. Banyak dari mereka telah menandatangani kontrak lima tahun dengan agen mereka.
Ketika tiba mereka menemukan pekerjaan di bidang pertanian dan pertambangan, serta tenaga kerja domestik. Relik kontemporer yang paling menarik dari gelombang pertama dan kedua di New Caledonia Indonesia adalah Tiebaghi, yaitu pemukiman pertambangan di wilayah pegunungan terpencil dekat Koumac di sebelah utara. Ini adalah tujuan bagi banyak buruh kontrak Indonesia (baik pendatang baru dan kelahiran setempat) antara tahun 1896 dan 1949. Di Tiebaghi, orang Jawa bekerja di tambang krom bawah tanah bersama Vietnam dan Jepang. Mungkin karena berperawakan kecil, maka dianggap ‘mudah’ bagi mereka untuk memasuki terowongan bawah tanah. Sekarang lokasi tambang dan peninggalan desa pertambangan ini sedang dipulihkan oleh Asosiasi untuk Perlindungan Pertambangan dan Warisan Caledonian Utara.
Gelombang ketiga emigrasi, dimana Djintar Tambunan termasuk di dalamnya, terdiri dari sekitar 600 warga Indonesia yang datang ke New Kaledonia selama booming nikel antara 1967 dan 1972, untuk bekerja pada kontrak tahunan terbarukan, terutama dalam industri konstruksi. Di Kaledonia Baru, orang Jawa (Indonesia) meraih reputasi sebagai pekerja yang rajin.
Menurut Tambunan, hanya beberapa dari mereka migran gelombang ketiga tetap di New Kaledonia, sebagian besar pindah kembali ke Indonesia dan beberapa telah meninggal dunia. Mereka yang tinggal di New Kaledonia bekerja – dan dalam beberapa kasus terus bekerja – dalam berbagai industri termasuk teknik, transportasi dan pembangunan infrastruktur.
Selain tiga gelombang migrasi, ada ‘kategori’ lainnya migran. Suminah (yang menyebut dirinya Evelyne saat di Perancis) adalah contoh dari baleh wong – orang Indonesia yang lahir di New Kaledonia. Kemudian ada Shirly Timan contoh dari jukuan wong, atau seseorang yang lahir di Indonesia, tetapi dibawa ke Kaledonia Baru oleh orang Indonesia setempat. Sering kali ini terjadi karena pernikahan.
Secara individu pencapaian ‘tertinggi’ karir orang Indonesia di Kaledonia Baru adalah keberhasilan Anggota Parlemen Rusmaeni Sanmohamat yang terpilih sebagai Wakil Presiden keenam Kaledonia Baru.
Disarikan dan disadur bebas dari tulisan Pam Allen (Pam.Allen @ utas.edu.au) mengajar Bahasa Indonesia dan budaya di University of Tasmania di Hobart. (Inside Indonesia 102: Oct-Dec 2010)
Adalah Djintar Tambunan – berumur 65 dan masih bekerja sebagai seorang insinyur di Noumea, ibukota Kaledonia Baru, merupakan anggota dari sebuah minoritas yang tidak biasa. Dia salah satu dari orang Indonesia yang sangat sedikit di Kaledonia Baru yang masih fasih berbahasa Indonesia. Istrinya Soetina yang orang Jawa tidak, demikian pula dengan ke dua anaknya yang sudah dewasa. Seperti kebanyakan teman-teman Indonesia mereka, bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Perancis.
Lahir di Belige, di tepi Danau Toba, Sumatera Utara, pada tahun 1945, Tambunan (begitu dia lebih suka dipanggil) dipindahkan ke Pulau Pasifik Kaledonia Baru selama booming pertambangan di tahun 1970. Dia datang untuk bekerja di perusahaan konstruksi besar Citra yang masih ada hingga sekarang. Dia menggambarkan dirinya sebagai bagian dari ‘gelombang ketiga‘ dari emigran Indonesia.
Lalu siapa kemudian yang disebut sebagai ‘gelombang pertama’ dan ‘gelombang kedua‘ dari emigran Indonesia, dan apa yang mereka lakukan di Kaledonia Baru?
Menurut Djintar Tambunan, dari 7000 atau lebih orang Indonesia yang saat ini tinggal di sana, merupakan bagian dari sebuah ‘bab’ yang relatif kurang dikenal dalam sejarah Indonesia. Seperti sejarah orang Jawa di Suriname – Amerika Selatan dan juga orang Melayu di Cape Malays – Afrika Selatan, ini adalah kisah menarik dari ketegangan yang terjadi ketika terjadi perpindahan populasi ke sebuah lingkungan baru.
Sebuah etnis pertambangan awak-multi yang terdiri dari Vietnam, Melanesia dan Jawa (Gambar milik Asosiasi Pur La Sauvegarde du Patrimoine Minier historique et du Nord Caledonien)
Gelombang pertama emigran Jawa terdiri dari 170 orang buruh kontrak, yang tiba di Noumea pada tahun 1896. Empat puluh dua tahun sebelumnya, Napoleon III telah mendirikan koloni hukuman milik Perancis di Kaledonia Baru. Sebagian besar narapidana yang dikirim ke sini adalah tahanan politik dari Komune Paris. Pada tahun 1894, Gubernur Kaledonia Baru Perancis, Paulus Feillet, menghapuskan imigrasi dan menggantikan tenaga pidana penjara dengan tenaga kerja imigran Asia, terutama dari Jepang, Jawa (Indonesia) dan Vietnam, yang datang untuk bekerja di pertambangan dan perkebunan.Awalnya dikirim untuk bekerja di bidang pertanian, pada tahun 1899 orang Jawa mulai bekerja di industri pertambangan, yang menawarkan upah yang lebih baik namun kondisi lebih sulit. Setelah masa kontrak mereka berakhir, beberapa dari mereka kembali ke Jawa. Tetapi banyak yang tetap di New Caledonia, sebuah pilihan yang memaksa hak mereka untuk repatriasi. Itu juga pilihan yang mengharuskan mereka mencari pekerjaan baru.
Tunggu sebentar! Tahukah Anda di mana letak New Caledonia. Lihat peta di bawah ini. New Caledonia adalah negara kepulauan yang terletak ‘di bawah kanan’ Indonesia dan ‘di sebelah kanan’ Australia nun jauh di Lautan Teduh.
Gelombang kedua imigrasi dari Jawa terjadi pada tahun-tahun sebelum Perang Dunia II ketika ekonomi New Caledonian menghadapi kekurangan tenaga kerja kronis bersamaan dengan ledakan di produksi nikel dan kopi. Antara tahun 1933 dan 1939 lebih dari 7800 orang Jawa meninggalkan Jawa untuk Noumea. Banyak dari mereka telah menandatangani kontrak lima tahun dengan agen mereka.
Ketika tiba mereka menemukan pekerjaan di bidang pertanian dan pertambangan, serta tenaga kerja domestik. Relik kontemporer yang paling menarik dari gelombang pertama dan kedua di New Caledonia Indonesia adalah Tiebaghi, yaitu pemukiman pertambangan di wilayah pegunungan terpencil dekat Koumac di sebelah utara. Ini adalah tujuan bagi banyak buruh kontrak Indonesia (baik pendatang baru dan kelahiran setempat) antara tahun 1896 dan 1949. Di Tiebaghi, orang Jawa bekerja di tambang krom bawah tanah bersama Vietnam dan Jepang. Mungkin karena berperawakan kecil, maka dianggap ‘mudah’ bagi mereka untuk memasuki terowongan bawah tanah. Sekarang lokasi tambang dan peninggalan desa pertambangan ini sedang dipulihkan oleh Asosiasi untuk Perlindungan Pertambangan dan Warisan Caledonian Utara.
Gelombang ketiga emigrasi, dimana Djintar Tambunan termasuk di dalamnya, terdiri dari sekitar 600 warga Indonesia yang datang ke New Kaledonia selama booming nikel antara 1967 dan 1972, untuk bekerja pada kontrak tahunan terbarukan, terutama dalam industri konstruksi. Di Kaledonia Baru, orang Jawa (Indonesia) meraih reputasi sebagai pekerja yang rajin.
Menurut Tambunan, hanya beberapa dari mereka migran gelombang ketiga tetap di New Kaledonia, sebagian besar pindah kembali ke Indonesia dan beberapa telah meninggal dunia. Mereka yang tinggal di New Kaledonia bekerja – dan dalam beberapa kasus terus bekerja – dalam berbagai industri termasuk teknik, transportasi dan pembangunan infrastruktur.
Selain tiga gelombang migrasi, ada ‘kategori’ lainnya migran. Suminah (yang menyebut dirinya Evelyne saat di Perancis) adalah contoh dari baleh wong – orang Indonesia yang lahir di New Kaledonia. Kemudian ada Shirly Timan contoh dari jukuan wong, atau seseorang yang lahir di Indonesia, tetapi dibawa ke Kaledonia Baru oleh orang Indonesia setempat. Sering kali ini terjadi karena pernikahan.
Secara individu pencapaian ‘tertinggi’ karir orang Indonesia di Kaledonia Baru adalah keberhasilan Anggota Parlemen Rusmaeni Sanmohamat yang terpilih sebagai Wakil Presiden keenam Kaledonia Baru.
Disarikan dan disadur bebas dari tulisan Pam Allen (Pam.Allen @ utas.edu.au) mengajar Bahasa Indonesia dan budaya di University of Tasmania di Hobart. (Inside Indonesia 102: Oct-Dec 2010)